Wednesday, June 8, 2016

KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA (K3)

1. DEFINISI K3 
    
Keselamatan kerja dapat diartikan sebagai suatu kondisi yang bebas dari resiko kecelakaanatau kerusakan atau dengan resiko yang relatif sangat kecil dibawah nilai tertentu. Sedangkankesehatan kerja dapat diartikan sebagai kondisi yang dapat mempengaruhi kesehatan para pekerja. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalahsuatu kondisi kerja yang terbebas dari ancaman bahaya yang mengganggu proses aktivitas danmengakibatkan terjadinya cedera, penyakit, kerusakan harta benda, serta gangguanlingkungan. OHSAS 18001:2007 mendefinisikan Keselamatan dan Kesehatan Kerja sebagaikondisi dan factor yang mempengaruhi atau akan mempengaruhi keselamatan dan kesehatan pekerja (termasuk pekerja kontrak dan kontraktor), tamu atau orang lain di tempat kerja. Daridefinisi keselamatan dan kesehatan kerja di atas serta definisi Keselamatan dan KesehatanKerja (K3) menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dan OHSAS dapat disimpulkan bahwaKeselamatan dan Kesehatan kerja adalah suatu program yangmenjamin keselamatan dankesehatan pegawai di tempat kerja.

2. DASAR HUKUM K3 

Ada minimal 53 dasar hukum tentang K3 dan puluhan dasar hukum tentang Lingkungan yangada di Indonesia. Tetapi, ada 4 dasar hukum yang sering menjadi acuan mengenai K3 yaitu:
  1. Dalam Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 1970

Tentang Keselamatan Kerja, disana terdapat Ruang Lingkup Pelaksanaan, Syarat KeselamatanKerja, Pengawasan, Pembinaan, Panitia Pembina K-3, Tentang Kecelakaan, Kewajiban danHak Tenaga Kerja, Kewajiban Memasuki Tempat Kerja, Kewajiban Pengurus dan KetentuanPenutup (Ancaman Pidana). Inti dari UU ini adalah, Ruang lingkup pelaksanaan K-3ditentukan oleh 3 unsur:
a. Adanya Tempat Kerja untuk keperluan suatu usaha, 
b. Adanya Tenaga Kerja yang bekerja di sana
c. Adanya bahaya kerja di tempat itu.


      2. UU No. 21 tahun 2003
Tentang Pengesahan ILO Convention No. 81 Concerning Labour Inspection in Industry andCommerce (yang mana disahkan 19 Juli 1947). Saat ini, telah 137 negara (lebih dari 70%)Anggota ILO meratifikasi (menyetujui dan memberikan sanksi formal) ke dalam Undang-Undang, termasuk Indonesia.

     3. UU No. 13 tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan, khususnya Paragraf 5 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja, pasal 86 dan 87. Pasal 86 ayat 1berbunyi: “Setiap Pekerja/ Buruh mempunyai Hak untuk memperoleh perlindungan atas Keselamatan dan Kesehatan Kerja.”

 Aspek Ekonominya adalah Pasal 86 ayat 2: ”Untuk melindungi keselamatan Pekerja/ Buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja.”Sedangkan Kewajiban penerapannya ada dalam pasal 87: “Setiap Perusahaan wajib menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang terintegrasi denganSistem Manajemen Perusahaan.”


    4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. Per-05/MEN/1996
Tentang Sistem Manajemen K3. Dalam Permenakertrans yang terdiri dari 10 bab dan 12 pasalini, berfungsi sebagai Pedoman Penerapan Sistem Manajemen K-3 (SMK3), mirip OHSAS18001 di Amerika atau BS 8800 di Inggris.


3. TUJUAN K3

tujuan dari keselamatan dan kesehatan kerja adalah sebagai berikut:
a. Agar setiap pegawai mendapat jaminan keselamatan dan kesehatan kerja baik secara fisik,sosial, dan     psikologis.
b. Agar setiap perlengkapan dan peralatan kerja digunakan sebaik-baiknya selektif mungkin.
c. Agar semua hasil produksi dipelihara keamanannya.
d. Agar adanya jaminan atas pemeliharaan dan peningkatan kesehatan gizi pegawai.
e. Agar meningkatkan kegairahan, keserasian kerja, dan partisipasi kerja.
f. Agar terhindar dari gangguan kesehatan yang disebabkan oleh lingkungan atau kondisikerja.
g. Agar setiap pegawai merasa aman dan terlindungi dalam bekerja


4. RUANG LINGKUP K3
   
Ruang lingkup tindakan K3 dilakukan di setia pekerjaan, kapanpun dan di manapun. Tindakan keselamatan kerja dilakukan di tempat kerja, di lingkungan keluarga "rumahtangga, lingkungan masyarakat. Adapun syarat-syarat pelaksanaan K2 diperuntukan untuk:

1.       Mencegah dan mengurangi kecelakaan
2.       Membuat jalan penyelamatan (emergency eXit),
3.       Memberi pertolongan pertama(first AIds PPPK),
4.       Memberi peralatan pelindung pada pekerja dan alat kerja,
5.       mempertimbangkan factor-faktor kenyamanan kerja,
6.       Mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit fisik dan psychis


5. KESELAMATAN KERJA DI INDONESIA 

Statistik Keselamatan Kerja di Negara Maju dan Berkembang

Menurut Badan Keselamatan Nasional, setiap tahun di Amerika Serikat hampir 100.000 kematian akibat kecelakaan dan kira-kira 9 orang terluka. Sebagai konsekwensinya banyak perusahaan beroperasi secara sederhana, sejauh mana kekhawatiran keselamatan, sekitar 15.000 kecelakaan fatal ditempat bekerja dan 2 jura terluka akibat pekerjaan. Total biaya yang dikeluarkan perusahaan mencapai beberapa miliar dollar per tahunnya.

Taksiran untuk frekwensi kecelakaan dan rata-rata kecelakaan telah menunjukkan standart nilai yang sangat berarti sebagai perbandingan antara beberapa perusabaan. Rata-rata frekwensi dinyatakan sebagai angka, yang kehilangan waktu pada saat terluka persejuta/jam pekerja setiap shift selama kecelakaan berlangsung. Tingkat kecelakaan menunjukkan keseriusan di dalam waktu yang hilang akibat kecelakaan dan dinyatakan dengan jumlah hari/1000 jam kerja. Rata-rata frekwensi dan rata-rata kecelakaan dapat dinyatakan sebagai berikut :
Waktu - hilang saat terluka x 106
Rata - rata Frekwensi = --------------------------------------
Total jam kerja

Hari yang hilang x 103
Rata - rata Kecelakaan = -------------------------------------
Total jam kerja
Sebagai contoh, diasumsikan ada 200 pekerja pabrik, 5 diantaranya terluka selama periode waktu 6 bulan, waktu total selama 150 hari, Rata-rata frekwensi pada pabrik ini selama periode tersebut adalah :
5 terluka x 106
Rata-rata Frekwensi = ---------------------------------------------------------
200 pekerja x 40 jam/pekerja/minggu x 26 minggu
Rata-rata Frekwensi = 72

Setiap unit masing-masing (106 jam kerja untuk rata-rata frekwensi, 103 untuk rata-rata kecelakaan) sebagai hasil angka yang sangat besar atau menunjukkan bagian desimal terkecil. Data tertera pada Dewan Keselamatan Nasional menunjukkan variasi diantara beberapa industri, rata-rata frekwensi berkisar antara 2 - 5, sementara rata-rata kecelakaan berkisar antara 1 - 5.

Perhitungan untuk rata-rata kecelakaan juga sedikit membingungkan untuk kecelakaan yang melibatkan kemampuan permanen, waktu standart yang digunakan dan waktu aktual yang hilang disebabkan korban diabaikan. Sebagai contoh, jika seorang pekerja kehilangan ibu jarinya pada saat kecelakaan, waktu yang dipakai adalah 600 hari sebagai waktu aktual yang hilang, 600 hari muncul sebagai waktu yang mengurangi hari kerja seorang pekerja. Jika ditemukan seorang pekerja meninggal saat bekerja maka rata- rata waktu bekerja diharapkan kira-kira 20 tahun, jumlah 6000 hari digunakan untuk menghitung fatalitas terberat. Waktu yang lain ditemukan pada jadwal yang lengkap yang ditentukan oleh standart Asosiasi Amerika termasuk 3000 hari untuk kehilangan tangan dan 1800 hari untuk kehilangan satu mata. Total kecacatan seperti kehilangan pandangan pada ke dua mata tercatat sebagai biaya paling maximum selama 6000 hari.

Perhitungan rata-rata kecelakaan dengan memakai rumus yang ditunjukkan disini sangat tidak berarti untuk tujuan membandingkan setidaknya sampai 1 juta jam kerja seorang pekerja (untuk rata-rata frekwensi) atau 1000 jam yang hilang akibat terluka (untuk rata-rata kecelakaan). Untuk lebih menyakini kurang dari data yang mempengaruhi sangat mudah dengan mengubah varisasi dan akan menunjukkan kenyataan suatu fluktuasi rata-rata kecelakaan. Pabrik yang kecil dapat memakai periode yang panjang untuk menghitung rata-rata tersebut, itu sebabnya dengan menambah sampel yang dipakai.
    Sebab-sebab Kecelakaan Kerja di Pabrik dan Penanganannya

Kecelakaan tidak terjadi begitu saja, kecelakaan terjadi karena tindakan yang salah atau kondisi yang tidak aman. Kelalaian sebagai sebab kecelakaan merupakan nilai tersendiri dari teknik keselamatan. Ada pepatah yang mengungkapkan tindakan yang lalai seperti kegagalan dalam melihat atau berjalan mencapai suatu yang jauh diatas sebuah tangga. Hal tersebut menunjukkan cara yang lebih baik selamat untuk menghilangkan kondisi kelalaian dan memperbaiki kesadaran mengenai keselamatan setiap karyawan pabrik.

Diantara kondisi yang kurang aman salah satunya adalah pencahayaan, ventilasi yang memasukkan debu dan gas, layout yang berbahaya ditempatkan dekat dengan pekerja, pelindung mesin yang tak sebanding, peralatan yang rusak, peralatan pelindung yang tak mencukupi, seperti helm dan gudang yang kurang baik.

Diantara tindakan yang kurang aman salah satunya diklasifikasikan seperti latihan sebagai kegagalan menggunakan peralatan keselamatan, mengoperasikan pelindung mesin mengoperasikan tanpa izin atasan, memakai kecepatan penuh, menambah daya dan lain-lain. Dari hasil analisa kebanyakan kecelakaan biasanya terjadi karena mereka lalai ataupun kondisi kerja yang kurang aman, tidak hanya satu saja. Keselamatan dapat dilaksanakan sedini mungkin, tetapi untuk tingkat efektivitas maksimum, pekerja harus dilatih, menggunakan peralatan keselamatan.

Begitupun, pelatihan yang diberikan kepada pekerja harus dianalisa, untuk seseorang yang berada di kelas pelatihan kecenderungan kecelakaan mungkin hanya sedikit yang diketahuinya. Satu lagi pertanyaan yang tak terjawab ialah apakah ada hubungan yang signifikan antara kecenderungan terhadap kecelakaan yang kecil atau salah satu kecelakaan yang besar.

Pendekatan yang sering dilakukan untuk seorang manager untuk salah satu faktor kecelakaan terhadap pekerja adalah dengan tidak membayar upahnya. Bagaimanapun jika banyak pabrik yang melakukan hal diatas akan menyebabkan berkurangnya rata-rata pendapatan, dan tidak membayar upah pekerja akan membuat pekerja malas melakukan pekerjaannya dan terus membahayakan diri mereka ataupun pekerja yang lain. Ada kemungkinan bahwa kejadian secara acak dari sebuah kecelakaan dapat membuat faktor-faktor kecelakaan tersendiri.

Seorang teknisi terlatih akan keselamatan kerjanya dapat mencegah jumlah kecelakaan melalui analisa setiap pekerjaan pada pabrik dari setiap peraturan keselamatan. Tentu saja, metoda analisa juga harus memperhatikan tanda-tanda keselamatan pekerja yang mereka pelajari untuk tujuan perencanaan proses dan ekonomis. Catatan di Inggris menunjukkan bahwa pabrik di negara tersebut memiliki metode teknologi instalasi sebagai program untuk mengurangi kecelakaan.

Sebelum menyelesaikan suatu studi kasus, analisa keselamatan harus bisa menentukan, tujuan setiap pekerjaan. Jika fakta-fakta tersebut ditentukan sebelumnya, seleksi dan penempatan, kedua perusahaan dan pekerja mendapatkan keuntungan.

Gangguan-gangguan pada kesehatan dan daya kerja akibat berbagai faktor dalam pekerjaan bisa di hindari. Dengan syarat buruh dan pihak pengelola perusahaan melakukan tindakan antisipasi terhadap resiko kecelakaan kerja. Perundangan tidak akan ada faedahnya, apalagi pemimpin perusahaan atau industri tidak melaksanakan ketetapan ketetapan perundangan itu.

Untuk mencegah gangguan kesehatan dan daya kerja, ada beberapa usaha yang dapat dilakukan agar para buruh tetap produktif dan mendapatkan jaminan perlindungan keselamatan kerja, yaitu pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja, pemeriksaan kesehatan berkala, yaitu untuk evaluasi dan pendidikan tentang kesehatan dan keselamatan kepada para buruh.

Hal lainnya adalah penyuluhan sebelum bekerja agar mereka mengetahui dan mentaati peraturan dan lebih berhati-hati. K3 bukan tanggung jawab pemerintah dan pengusaha saja, tapi kewajiban bersama antar pemerintah, pengusaha, pekerja dan masyarakat.

       Implementasi  K3 dan Jamsostek di Indonesia
Di era globalisasi dan pasar bebas WTO dan GATT yang akan berlaku tahun 2020 mendatang, kesehatan dan keselamatan kerja merupakan salah satu prasyarat yang ditetapkan dalam hubungan ekonomi perdagangan barang dan jasa antar negara yang harus dipenuhi oleh seluruh negara anggota, termasuk bangsa Indonesia. Untuk mengantisipasi hal tersebut serta mewujudkan perlindungan masyarakat pekerja Indonesia; telah ditetapkan Visi Indonesia Sehat 2010 yaitu gambaran masyarakat Indonesia di masa depan, yang penduduknya hidup dalam lingkungan dan perilaku sehat, memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Kesehatan dan Keselamatan Kerja atau K3 adalah suatu sistem program yang dibuat bagi pekerja maupun pengusaha sebagai upaya pencegahan (preventif) timbulnya kecelakaan kerja dan penyakit akibat hubungan kerja dalam lingkungan kerja dengan cara mengenali hal-hal yang berpotensi menimbulkan kecelakaan kerja dan penyakit akibat hubungan kerja, dan tindakan antisipatif bila terjadi hal demikian.
Tujuan dari dibuatnya sistem ini adalah untuk mengurangi biaya perusahaan apabila timbul kecelakaan kerja dan penyakit akibat hubungan kerja. Namun, patut disayangkan tidak semua perusahaan memahami arti pentingnya K3 dan bagaimana implementasinya dalam lingkungan perusahaan. Selain itu, tujuan K3, antara lain sebagai alat untuk mencapai derajat kesehatan pekerja yang setinggi-tingginya dan sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit dan kecelakaan-kecelakaan akibat kerja. Tujuan lainnya adalah sebagai alat untuk mempertinggi produktivitas pekerja.
Merupakan hal yang sangat penting bagi setiap orang yang bekerja dalam lingkungan perusahaan, terutama yangsecara khusus bergerak di bidang produksi, untuk dapat memahami arti pentingnya kesehatan dan keselamatan kerja dalam bekerja kesehariannya. Hal ini memiliki urgensi yang besar, baik untuk kepentingan diri sendiri maupun karena aturan perusahaan yang meminta untuk menjaga hal-hal tersebut dalam rangka meningkatkan kinerja dan mencegahpotensi kerugian bagi perusahaan. Namun yang menjadi pertanyaan adalah seberapa penting perusahaan berkewajiban menjalankan prinsip kesehatan dan keselamatan kerja (K3) di lingkungan perusahaannya.

Patut diketahui pula bahwa ide tentang K3 telah ada sejak dua puluh tahun yang lalu, namun hingga saat ini, masih ada pekerja dan perusahaan yang belum memahami korelasi antara K3 dengan peningkatan kinerja perusahaan, bahkan tidak mengetahui eksistensi aturan tersebut. Akibatnya, seringkali mereka melihat fasilitas K3 sebagai sesuatu yang mahal dan seakan-akan mengganggu proses bekerja. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu dipahami terlebih dahulu landasan filosofis pengaturan K3 yang telah ditetapkan pemerintah dalam undang-undang.

Terdapat tiga hal penting yang harus diperhatikan dalam penyelenggaraan K3, yaitu: (1) seberapa serius K3 hendak diimplementasikan dalam perusahaan; (2) pembentukan konsep budaya malu dari masing-masing pekerja bila tidak melaksanakan K3 serta keterlibatan berupa dukungan serikat pekerja dalam pelaksanaan program K3 di tempat kerja; dan (3) kualitas program pelatihan K3 sebagai sarana sosialisasi.8 Hal lain yang juga diperlukan dalam rangka mendukung terlaksananya program K3 adalah adanya suatu komite K3 yang bertindak sebagai penilai efektivitas dan efisiensi program serta melaksanakan investigasi bila terjadi kecelakaan kerja untuk dan atas nama pekerja yang terkena musibah kecelakaan kerja.

Inti dari terlaksananya K3 dalam perusahaan adalah adanya kebijakan standar berupa kombinasi aturan, sanksi, dan keuntungan dilaksanakannya K3 oleh perusahaan bagi pekerja dan perusahaan, atau dengan kata lain adanya suatu kebijakan mutu K3 yang dijadikan pedoman bagi pekerja dan pengusaha.

Berkaitan dengan implementasi K3 dalam lingkungan perusahaan, upaya yang dilakukan pihak pemerintah sebagai pembentuk regulasi adalah mewujudkan Jaminan Sosial TenagaKerja (Jamsostek). Kepesertaan program Jamsostek bagi pekerja/buruh bersifat wajib sekaligus merupakan hak yang harus dipenuhi oleh pemberi kerja bagi para pekerjanya. Komponen yang termasuk dalam program ini terdiri dari Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JK), Jaminan Hari Tua (JHT), serta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK).
Dalam praktiknya, meski program Jamsostek dicanangkan sejak 1992, ternyata masih banyak perusahaan dan pekerja/buruh yang belum terdaftar sebagai peserta program ini sesuai ketentuan yang berlaku. Hal ini bertentangan dengan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang menyatakan bahwa setiap tenaga kerja berhak atas Jamsostek yang wajib dilakukan oleh setiap perusahaan dan pelanggaran atas ketentuan ini akan dikenakan sanksi.
Sementara masih banyak perusahaan belum melaksanakan program Jamsostek, tenaga kerja yang bekerja di sector informal/luar hubungan kerja, mulai digarap untuk menjadi peserta program Jamsostek berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) beserta peraturan pelaksanaannya, Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Jamsostek bagi Tenaga Kerja yang Melakukan Pekerjaan di Luar Hubungan Kerja, yang jumlahnya sangat besar dan memerlukan perlindungan Sosial (social security).
Dalam praktik di lapangan, pelaksanaan program Jamsostek belum berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya tuntutan dan protes yang datang dari kalangan serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat (LSM), anggota lembaga legislatif, serta elemen masyarakat lainnya yang dialamatkan kepada pengusaha, PT Jamsostek, maupun instansi pemerintah di bidang ketenagakerjaan.

Secara luas, berita-berita mengenai fakta tersebut dapat dengan mudah diakses melalui media cetak dan media elektronik, baik nasional maupun daerah, namun nampaknya belum juga ada perubahan signifikan yang menjadikan penyelenggaraan Jamsostek lebih baik. Sebuah penelitian menunjukkan, jumlah perusahaan wajib lapor di Sumatera Utara berjumlah sekitar 11.000 perusahaan dengan jumlah pekerja/buruh sekitar 1.500.000 orang termasuk pekerja kontrak, pekerja harian lepas, borongan, dan perusahaan kecil. Perusahaan yang terdaftar menjadi peserta Jamsostek sampai dengan Agustus 2006 baru mencapai 6.537 perusahaan atau 59,42% (aktif 4.092 perusahaan/37,2%, nonaktif 2.445 perusahaan/62,8%).

Sementara itu, jumlah peserta (pekerja/buruh) terdaftar adalah 1.039.958 orang (peserta aktif 37.320/24,82% nonaktif 667,638 orang/75,18%). Hal tersebut menunjukkan bahwa persentase peserta aktif program Jamsostek masih tergolong rendah dan tentunya amat merugikan para pekerja/buruh sehingga perlu penanganan secara khusus. Demikian juga halnya dengan pelayanan kesehatan dalam JPK, tidak sedikit pekerja dan keluarganya yang menyampaikan berbagai keluhan atas pelayanan rumah sakit atau klinik yang menjadi penyedia layanan Jamsostek.

Tidak jarang peserta Jamsostek harus menanggung sendiri obat yang dibutuhkan. Karena itu, banyak perusahaan yang keluar dari program Jamsostek untuk melaksanakan sendiri pelayanan kesehatan melalui rumah sakit yang lebih baik agar kesehatan pekerja mereka lebih terjamin dan dapat lebih produktif dalam bekerja. Berdasarkan fakta tersebut di atas, bahwa PT Jamsostek belum melaksanakan tugas sebagaimana mestinya, termasuk perkara dugaan korupsi yang melibatkan oknum

Direktur PT Jamsostek dan pengelolaan keuangan yang tidak jelas, terlihat bahwa PT Jamsostek belum berusaha secara optimal dalam meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh. Hal tersebut di atas diungkapkan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno yang dengan tegas mengatakan bahwa pemerintah akan segera mereformasi total PT Jamsostek menyangkut kepastian hak pekerja/buruh dengan merevisi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja